Penilaian Abad 21 : Enam Pendekatan Menilai Kemampuan Berfikir Kritis

Ketika kita memikirkan tes/ujian di sekolah, kita mungkin langsung membayangkan siswa meletakkan lembar jawaban di meja mereka lalu mengisi jawaban singkat untuk bentuk soal isian, memberikan pilihan untuk bentuk soal pilihan ganda, atau menulis esai singkat untuk soal berjenis uraian. Mayoritas upaya kognitif mereka difokuskan pada pencarian ingatan mereka untuk menemukan respons/jawaban yang sesuai dengan soal tes/ujian, atau menerapkan rumus untuk masalah yang sudah biasa. Gaya penilaian pendidikan ini merupakan jenis keterampilan yang dianggap penting sepanjang abad ke-20 yakni keterampilan menyimpan informasi yang relevan dan mengambilnya sesuai permintaan.

Namun, jika dilihat dari sudut pandang pengukuran maka masalahnya akan lebih kompleks. Pengukuran yang bermakna membutuhkan pendefinisian apa yang ingin diukur, serta sistem yang konsisten untuk menentukan ruang lingkup apa yang ingin diukur. Mungkin akan relatif mudah untuk pengukuran berat dalam gram atau tinggi dalam centimeter, tetapi tidak untuk pengukuran kognitif karena mengukur keterampilan ini tidak sesederhana kelihatannya.

Konsep-konsep semacam kreatifitas atau literasi bukan objek nyata yang dapat dengan mudah diukur berdasarkan berat atau tinggi mereka. Konstruksi tersebut tidak memiliki sifat pengukuran inheren yang independen dari definisi manusia sehingga menjadikan dilema bagi para pendidik. Pendidik perlu menilai hasil belajar siswa untuk mengetahui siswa mana yang siap untuk belajar pada tahap selanjutnya.

Ketika kita berpikir tentang pembelajaran atau keterampilan, kita mengasumsikan bahwa penguasaan kompetensilah yang mendasari dan bertanggung jawab atas perilaku tertentu dalam hasil belajar. Tetapi kita sulit bahkan tidak bisa melihat kompetensi ini melainkan hanya bisa melihat hasilnya saja. Sehingga jika kita ingin mengukur kompetensi tersebut maka kita harus memeriksa hasilnya untuk memperkirakan jumlah, tingkat, atau kualitasnya dan itulah tantangannya.

Satu centimeter akan selalu satu centimeter, tetapi apa yang dipandang sebagai jawaban yang benar untuk suatu pertanyaan dapat sangat bervariasi. Jadi apa yang kita cari dalam pengukuran konstruksi pendidikan tersebut adalah proksi, yakni sesuatu yang dapat mewakili/merepresentasikan apa yang benar-benar dapat dia wakili.

Sebagai contoh dalam ilmu kedokteran forensik, ketika tidak ada identitas pada mayat terlebih jika mayat rusak maka usia mayat tersebut dapat diperkirakan dari giginya, inilah yang disebut proksi. Oleh sebab itu, kualitas pengukuran sangat tergantung pada kualitas proxy yang dipilih.

Respon siswa pada tes/ujian adalah proksi untuk kompetensi dan pembelajaran mereka dimana terdapat banyak jenis proksi yang bisa jadi akan lebih baik atau lebih buruk dalam mengungkapkan kualitas atau ketercapaian kompetensi siswa. Penting sekali untuk mengetahui proksi macam apa yang paling berguna untuk setiap keterampilan atau kompetensi, dan bagaimana kita mengumpulkannya.

Selama beberapa dekade terakhir, tes/ujian menggunakan pensil dan kertas telah menjadi metode utama yang digunakan untuk menilai hasil pendidikan. Untuk melihat literasi dan berhitung mungkin metode ini cukup masuk akal, namun untuk keterampilan lain seperti penyelesaian masalah, pemikiran kritis, kolaborasi, dan kreativitas ini kurang cocok dan perlu mencari proksi baru.

Penilaian abad 21 adalah penilaian yang dirancang untuk dapat mengukur dan memetakan ketercapaian suatu kompetensi atau materi secara otentik dengan menggunakan model atau bentuk penilaian otentik. Penilaian ini juga harus dapat melihat sampai sejauh mana kecakapan abad 21 peserta didik yang dirumuskan dalam “ISTE Standard for students” telah membekas dan menjadi karakter bahkan membudaya pada peserta didik.

Disini akan dibahas tentang salah satu penilaian kecakapan abad 21 yakni Berfikir Kritis (critical thinking). Bagaimana kita tahu bahwa siswa kita berpikir kritis? Penilaian pemikiran kritis relatif rumit untuk dilakukan karena mencakup keterampilan yang luas. Namun, kita dapat mulai menilai pemikiran kritis dengan cara memecahnya menjadi komponen yang lebih mendasar dan kemudian menentukan kriteria yang dapat digunakan untuk melakukan penilaian.


Paling tidak ada 6 pendekatan yang bisa dilakukan untuk dapat menilai kemampuan berfikir kritis termasuk penerapannya dalam menyusun perangkat penilaian dan soal tes, yakni:

1.      Kemampuan Bertanya (Questioning Abilities)

Kriteria ini mencakup tentang kemampuan siswa untuk merumuskan pertanyaan dan menyusun pertanyaan essential yang relevan seputar masalah atau tantangan yang diberikan. Kriteria ini juga mengacu pada kemampuan mereka untuk menyatakan pertanyaan dengan jelas dan ringkas agar mudah dipahami oleh orang lain.

2.      Kemampuan Berargumentasi (Reasioning Abilities)

Kemampuan siswa untuk memberikan alasan dan penjelasan serta berargumentasi seputar masalah atau tantangan yang diberikan. Kriteria ini juga mengacu pada kemampuan mereka untuk menyatakan pendapat dengan jelas, ringkas, terstruktur agar mudah dipahami dan dapat meyakinkan orang lain.

3.      Penggunaan Informasi (Use of Information)

Beragam informasi ada dan dapat diakses di manapun saat ini dan jumlahnya tentu kian hari terus bertambah berkali-kali lipat. Bagian dari kemampuan berpikir kritis yang dibutuhkan peserta didik adalah menemukan informasi yang berguna dan relevan dengan kebutuhan mereka di sekolah dan dalam kehidupan serta dapat menyelesaikan permasalahan yang ada dengan mengolah informasi tersebut.

4.      Menjaga Pikiran Tetap Terbuka (Keeping an Open Mind)

Mungkin akan ada banyak kemungkinan jawaban untuk sebuah pertanyaan/permasalahan yang dhadapi setiap hari dalam hidup. Pemikir kritis tetap terbuka setiap saat terhadap berbagai kemungkinan dalam lingkungan pembelajaran maupun di masyarakat.

5.      Membuat Kesimpulan (Drawing Conclusions)

Ketika siswa mampu menarik kesimpulan maka siswa akan melihat tujuan sebenarnya dari pencarian informasi yang mereka lakukan telah membuahkan hasil. Ini memberi guru kesempatan untuk mengklarifikasi apakah pertanyaan dapat terjawab atau tantangan dapat terselesaikan dan sekaligus merupakan bentuk pengakuan atas pembelajaran hal baru yang telah terjadi.

6.      Komunikasi & Kolaborasi (Communication & Collaboration)

Ruang kelas dan ruang belajar lainnya merupakan tempat yang paling tepat untuk terbentuknya kerja tim dan kepercayaan. Belajar bagaimana membangun koneksi dan mengelola peran dalam kelompok kolaboratif adalah keterampilan siswa modern yang sangat penting. Keterampilan seperti itu adalah kecakapan hidup yang harus dimiliki dan menjadi karakter siswa.

Dikutip dari Buku dengan judul "How to STEAM Your Classroom, Revo 4.0 Model - Outside The Box (Part-1)". Softcopy dapat di unduh melalui link http://bit.ly/steamclassroom.

Salam dari Ibu Kota Negara !

Fathur Rachim
http://fathur.web.id

Related

viral 2388031264172490931

Posting Komentar

emo-but-icon

Follow us !

Trending

Terbaru

Komentar

item