URGENSI SEKOLAH RAKYAT?


Dikutip dari kompas.com bahwa Mendikdasmen ungkap "Sekolah Rakyat" membutuhkan setidaknya 60.000 guru, ini artinya membuka peluang kerja baru bagi rakyat, benarkah?

Dari sisi bangunan atau gedung rencananya akan menempati fasilitas yang dimiliki oleh Kementerian Sosial yang tidak terpakai serta fasilitas Universitas Barawijaya Malang dan Unesa Surabaya. Artinya dari investasi infrastruktur gedung akan sangat minim bahkan tidak diperlukan.

Dari sisi gurunya, rencananya akan memanfaatkan guru-guru yang sudah ada dengan pola redistribusi guru dan/atau dengan pola rekruitmen guru baru.

Rencananya calon siswa Sekolah Rakyat ini berasal dari desil 1 dan 2 dari keluarga tidak mampu atau miskin, artinya mereka dari 2 level terendah dari kategori miskin. Sedangkan kurikulum yang akan digunakan adalah kurikulum nasional atau mengikuti kurikulum Sekolah Garuda.

Lalu seberapa URGENsinya Sekolah Rakyat ini?

Jika melihat dari niat dan tujuannya, tentu Sekolah Rakyat ini sangat baik keberadaannya guna menekan angka putus sekolah dari keluarga miskin di desil 1 dan 2. Disisi lain efek jangka panjang dari program ini guna menekan kesenjangan sosial dan ekonomi masyarakat miskin yang ekstrim menuju atau mendekati kurva normal serta memutus mata rantai kemiskinan. Sehingga dapat dikatakan cukup urgen jika dilihat dari tujuannya.

Lalu pertanyaanya, mengapa tidak memanfaatkan sekolah-sekolah yang sudah ada atau menyediakan kelas-kelas khusus di sekolah-sekolah reguler? Jawabannya tentu agar pola pembinaan dan pendidikannya bisa lebih maksimal. Sekolah-sekolah reguler tetap melayani diswa miskin yang berada pada desil 3 atau lebih melalui jalur afirmasi.

Selanjutnya tinggal memastikan agar Sekolah Rakyat ini benar-benar memanfaatkan infrastruktur sarana dan fasilitas-fasilitas yang sudah, tidak membangun gedung-gedung sekolah baru mengingat jumlah pertumbuhan penduduk usia sekolah di Indonesia relatif tidak tinggi. Jangan sampai membangun infrastruktur gedung-gedung sekolah baru yang 10-20 tahun akan datang akan menjadi gedung-gedung kosong, seperti halnya banyak terjadi di beberapa negara maju yang harus menutup sekolahnya karena tidak ada siswa akibat tingkat perkawinan dan keinginan memiliki anak yang rendah. Berbeda dengan China dan India yang saling berkejaran untuk saling salip agar menjadi penduduk terbanyak di dunia, dengan berbagai skema yang mereka tawarkan.

Selanjutnya, memang harus dipastikan agar pemerintah tidak merekrut guru-guru baru untuk mengisi kebutuhan tenaga pengajar di Sekolah-Sekolah tersebut, kecuali kelebihan guru-guru yang ada disekolah-sekolah reguler sudah terdistribusi merata ke sekolah-sekolah yang ada dan guru-guru honor telah terangkat serta kesejahteraan mereka benar-benar diperhatikan. 

Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan, mengingat tenaga guru dan tendik yang ada saat ini saja pengangkatan mereka wacananya akan ditunda hingga tahun depan, ditambah deretan honorer bidang pendidikan lainnya yang masih belum terangkat. Jangan sampai di sekolah reguler pengadaan guru untuk mengisi formasi kosong akibat jumlah guru yang pensiun dan kekurangan jumlah guru dilakukan moratorium, disisi lain melakukan rekruitmen guru-guru baru untuk Sekolah Rakyat.

Selanjutnya dari sisi calon siswanya, jangan sampai Sekolah Rakyat ini menjadi sekolah untuk menampung titipan dari oknum-oknum tertentu. Harus bisa dipastikan mekanisme dan skema rekruitmen benar-benar bisa menjaring siswa dari kelompok masyarakat miskin pada desil 1 dan 2. Seperti kita ketahui bersama bahwa Kartu-Kartu dan surat-surat keterangan miskin dari lurah dan RT sering sekali disalahgunakan. Perlu skenario lain seperti visitasi langsung ke rumah calon siswa guna memastikan benar-benar miskin dan layak tidaknya.

Terkait standar test akademik yang akan dilakukan kepada calon siswa Sekolah Rakyat ini juga harus sangat hati-hati. Orang tua calon siswa miskin pada desil 1 dan 2 ini biasanya kurang memperhatikan kecukupan kebutuhan gizi putra-putrinya apalagi fasilitas pendidikan bagi putra-putrinya karena memang mereka berada pada level miskin dan tidak mampu. Artinya jika tes akademik itu berharap nilai akademiknya dipatok harus tinggi diatas 7 misalnya, tentu akan lepas dari tujuan yang penulis sampaikan dibagian awal tulisan ini. 

Tes yang dilakukan harusnya adalah tes potensi akademik dengan tujuan memetakan dan mengelompokan kemampuan dasar siswa guna memudahkan pola asuh dan pembinaan serta pengembangan kompetensi siswa tersebut, bukan tujuan untuk menyeleksi. Jika jumlah kelasnya terbatas kuota pendaftar berlebih maka seleksinya adalah mencari yang TERMISKIN diantara yang miskin dan diberikan layanan istimewa, tidak hanya gratis.

Selanjutnya siswa miskin ini biasanya juga ikut membantu orang tua dalam bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sehingga siswanya perlu diasramakan dan memang perlu didukung program lainnya untuk keluarganya, jika tidak maka orang tua tetap meminta anak untuk membantu di sawah, ladang atau melaut.

Update
Rencananya Guru Penggerak (GP) yang ada akan diminta mengabdikan ilmu dan kemampuannya di sekolah-sekolah rakyat tersebut yang jumlahnya mencapai untuk mencerdaskan anak bangsa yang berasal dari keluarga miskin untuk diasramakan agar mendapatkan pendidikan yang lebih baik. 

Namun jika syarat nya miskin dan pintar, sepertinya cukup melalui jalur afirmasi sekolah-sekolah reguler. Yang hebat jika negara hadir juga untuk membiayai penuh beserta pendukungnya bagi siswa miskin dan *tidak pintar*.

Jika kita mempercayai gizi buruk berakibat pada kurangnya nutrisi bagi otak anak, maka bagaimana mungkin anak orang miskin dapat tercukupi kebutuhan gizi minimalnya? 

@fathur_kaltim

Related

trend 8312455580452010094

Posting Komentar

emo-but-icon

Follow us !

Trending

Terbaru

Komentar

item