Seperti yang kita ketahui bersama bahwa kementerian pendidikan PERNAH punya beberapa model sekolah seperti Sekolah Model, Sekolah Rujukan, Sekolah Double Track atau bahkan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI/SBI) yang sempat menjadi polemik dan berperkara di Mahkamah Konstitusi (MK).
Sebagai informasi untuk mengingatkan kita bersama bahwa MK dalam sidang putusan pembatalan Pasal 50 ayat 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pada Selasa, 8 Januari 201, dalam putusannya tersebut, MK menyatakan pasal yang mengatur RSBI/SBI yang berada di sekolah-sekolah pemerintah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Adapun bunyi Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas menyebutkan, “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional”.
Dalam pertimbangannya, RSBI dapat menimbulkan dualisme pendidikan, mahalnya biaya pendidikan, adanya diskriminasi pendidikan, pembedaan antara RSBI/SBI dengan non RSBI/SBI akan menimbulkan adanya kastanisasi pendidikan.
Pertimbangan lainnya, yakni penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam tiap mata pelajaran dalam sekolah RSBI/SBI dinilai dapat mengikis jati diri bangsa, melunturkan kebanggaan generasi muda terhadap penggunaan dan pelestarian bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa.
Senada dengan itu, masyarakat penggugat menilai RSBI/SBI rentan terhadap penyelewengan dana, menimbulkan diskriminasi dan kastanisasi pendidikan, serta mahalnya biaya pendidikan seperti halnya pertimbangan MK.
Lalu akankah Sekolah Penggerak berakhir seperti RSBI di Mahkamah Konstitusi?
Tentunya untuk menjawab itu, maka kita harus tahu terlebih dahulu wujud dari "Sekolah Penggerak" itu seperti apa dan bagaimana "cantolan" hukumnya untuk dapat menerapkannya?
Nah, jika SBI/RSBI saja yang punya "cantolan" dalam UU Sisdiknas, bisa berakhir di MK karena melanggar prinsip-prinsip dari perundangan yang lebih tinggi, lalu apakah Sekolah Penggerak yang sampai sejauh ini belum ada "payung hukum" yang mencukupi (setingkat UU) untuk dapat melaksanakannya dengan baik, taat azas dan memiliki legal formal yang cukup, benarkah demikian?
Merujuk dari laman KEMDIKBUD, bahwa Program Sekolah Penggerak adalah upaya untuk mewujudkan visi Pendidikan Indonesia dalam mewujudkan Indonesia maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian melalui terciptanya Profil Pelajar Pancasila.
Program Sekolah Penggerak berfokus pada pengembangan hasil belajar siswa secara holistik yang mencakup kompetensi (literasi dan numerasi) dan karakter, diawali dengan SDM yang unggul (kepala sekolah dan guru).
Program Sekolah Penggerak merupakan penyempurnaan program transformasi sekolah sebelumnya. Program Sekolah Penggerak akan mengakselerasi sekolah negeri/swasta di seluruh kondisi sekolah untuk bergerak 1-2 tahap lebih maju. Program dilakukan bertahap dan terintegrasi dengan ekosistem hingga seluruh sekolah di Indonesia menjadi Program Sekolah Penggerak.
Pada landing page (beranda) halaman Sekolah Penggerak (SP) dinyatakan dengan tegas bahwa "Sekolah Penggerak berfokus pada pengembangan hasil belajar siswa...". Artinya mungkin ide sekolah penggerak ini ingin lebih fokus bagaimana mengembangkan hasil belajar siswa. Disisi lain ketika kita ingin fokus kepada suatu target maka akan mengakibatkan target lainnya tidak fokus (meski tidak harus seperti itu juga). Artinya jika fokusnya pada hasil belajar maka proses bisa saja tidak akan mendapatkan perhatian yang cukup.
Lalu tentu kita akan bertanya-tanya, lebih penting mana berfokus pada hasil belajar atau berfokus pada proses belajar? tentu akan muncul berbagai argumentasi dari masing-masing pihak untuk menjustifikasi pendapatnya masing-masing. Sering pula kita mendengar bahwa lebih penting proses ketimbang hasil atau sebaliknya yang penting hasilnya, prosesnya urusan nomor dua?
Pendidikan Indonesia selama beberapa waktu ini mungkin memang lebih berfokus kepada hasil belajar yang direpresentasikan dalam bentuk angka-angka atau nilai, peringkat, rangking atau juara. Mungkin perlu lebih rigit lagi,kemdikbud dalam sosialisasi dan menjelaskan makna berfokus pada hasil belajar ini?
Kembali ke SP, pastinya semua program itu dirancang untuk menjadi lebih baik, meskipun masih sedikit abu-abu jika dibandingkan dengan program-program sebelumnya seperti Sekolah Rujukan atau Sekolah Model.
Pada kesempatan ini, Mandikbud dari HIPPER Indonesia mengungkapkan beberapa hal yang perlu dicermati, bahkan mungkin di evaluasi atau di akomodasi bahkan mungkin disosialisasi dan dikomunikasikan lebih baik lagi agar program ini tidak berakhir seperti program-program sebelumnya, dimana salah satu alat ukur eksternal yang kita gunakan adalah PISA/TIMSS yang hasilnya hampir-hampir tidak ada perubahan yang signifikan setiap periode pelaksanaanya, jika memang hasil belajar yang menjadi fokusnya.
Pertama,
PISA/TIMSS dalam pelaksanaanya dan uji samplingnya tidak berdasarkan "kekhususan" atau labeling sekolah semisal "sekolah penggerak", melainkan sampling untuk semua sekolah tanpa membeda-bedakan label sekolah. Pertanyaanya, bagaimana program ini bisa berhasil meningkatkan PISA/TIMSS?.
Kedua,
Untuk menjadi Guru Penggerak dan Sekolah Penggerak serta sejenisnya, pastinya dilakukan seleksi yang sangat ketat dengan rangkaian seleksi dan pembinaan pasca seleksi yang relatif cukup panjang dan padat. Lalu apakah program tersebut dapat memiliki efek tular yang besar/luas terhadap guru dan sekolah yang tidak memiliki label "Penggerak"? dan Apakah dapat meningkatkan hasil eksternal asesmen seperti PISA/TIMSS?
Ketiga,
Bagaimana Membentuk Kurva Normal Hasil Belajar?
Mandikbud teringat atas ucapan seorang guru politik sekaligus guru spritualnya yang menyatakan "Hai, anak muda. Saya BELUM AKAN angkat topi tatkala siswa anda meraih nilai-nilai tinggi bahkan jika sempurna sekalipun. Saya BELUM AKAN angkat topi tatkala siswa anda berhasil masuk perguruan-perguruan tinggi ternama baik dalam maupun luar negeri bahkan mungkin berhasil memasuki dunia kerja dengan posisi yang penting/strategis. Mengapa?"
Beliau menjelsakan bahwa beliau baru akan bangga tatkala anda BERHASIL mendidik anak-anak yang jika boleh dianalogiakan seperti mobil maka harus "turun mesin" dari pada anak-anak yang siap pakai seperti mobil-mobil baru. Ya, anak-anak "pintar" tersebut meskipun hanya "pejam mata" mengajarnya maka dia tetap akan "berhasil" karena bahan bakunya memang sudah bagus.
Seleksi guru-guru penggerak dan sekolah-sekolah penggerak MUNGKIN lebih kepada "memoles" bahan baku yang memang dasarnya sudah bagus, mengapa? karena untuk dapat menjadi guru penggerak atau sekolah penggerak, mereka harus MENGAJUKAN DIRI.
Tidaklah cukup hanya "ingin" dengan mengajukan diri, mereka juga harus melengkapi sederet kelengkapan pemberkasan dan melalui berbagai tahapan seleksi untuk dapat ditetapkan dan DIDIKLAT untuk memperoleh label "guru penggerak" atau "sekolah penggerak".
Hanya Sekedar Ilustrasi
Secara normal, sesuatu yang "diberi perlakuan" (baca:dilatih) lebih, tentu akan cendrung meningkatkan kemampuan dan potensinya. Lalu bagaimana jika yang dilatih tersebut adalah orang-orang yang memiliki kualitas yang sebenarnya sudah unggul ?
Ya, mungkin target, tantangan, kendala akan relatif jauh lebih kecil, dan peluang berhasilnya pastilah mungkin akan jauh lebih besar dan maksimal. Maindset inilah yang mungkin ada dibenak kita tatkala ingin agar sebuah program bisa berhasil dengan baik dengan permasalahan-permasalahan yang minimal.
Lalu apa yang akan terjadi tatkala sebuah program yang dirancang untuk bisa dilaksanakan dalam kurun waktu 10 tahun misalnya, lalu setelah 2 tahun berjalan, harus bernasib sama dengan program-program pendahulunya, misalnya diakibatkan oleh berubahnya program prioritas atau berakhirnya kepemimpinan ditengah perjalanan?
Ya, tentu "kurva normal hasil belajar" MUNGKIN tidak akan pernah dapat terwujud, malah mungkin jaraknya akan semakin lebar karena level dan layer terbawah sebagai target sasaran terakhir tidak pernah "tersentuh" perlakuan-perlakuan program yang dirancang tersebut.
TENTU mungkin AKAN BERBEDA tatkala "targeting" sasaran program-program tersebut prioritas pada layer atau lapisan terbawah. Memang "pekerjaan berat", namun jika ini dilakukan tentu bisa mengurangi "jarak" menuju "kurva hasil belajar normal", dan andai program harus berakhir ditengah jalan sekalipun, mungkin masih miliki efek yang cukup untuk mempersempit "jarak" yang ada antara layer/level atas dengan yang terbawah.
Dalam sebuah siklus pelatihan dengan sistem multi level marketing (MLM) seperti yang terjadi dibanyak kegiatan selama ini, biasanya para target yang berada di level-1 akan menerima limpahan ilmu penuh dari sumber-sumber utama hingga mencapai 100%, level-2 biasanya akan menerima turunan ilmu lebih kecil dari gurunya (level-1), begitu seterusnya hingga terkadang ilmu yang bisa terserap hanya berkisar 60% nya saja atau bahkan bisa lebih kecil di level bawah, mengingat biasanya akan terjadi lost beberapa % disetiap levelnya.
Jika demikian maka akan sangat sulit sekali layer/lapisan terbawah untuk bisa berkembang dengan maksimal tatkala "pupuk" dan "nutrisi" yang diberikan tidak mencukupi atau bahkan salah takaran dan aturan pakainya. Mungkin akan berbeda ceritanya, jika layer/lapisan terbawah ini di rawat dan dilatih khusus dan langsung oleh para trainer dan suhu-suhu yang mumpuni.
"Saya akan bayar 100 profesor untuk melatih 10.000 guru yang berada dilayer-layer terbawah ini", sembari tetap memberikan sedikit insentif untuk guru-guru yang sudah "mampu berdiri" atau "sekolah-sekolah" yang sudah mampu berjalan, daripada lebih berfokus pada layer-layer atas tersebut. Dengan kata lain mestinya dimulai dari layer yang paling bawah, ucap Mandikbud dalam sesi wawancara khusus dengan para Fungsionaris HIPPER Indonesia membahas konsep "DAULAT BELAJAR"
Mengapa harus "profesor" yang melatih mereka? Agar mereka memperoleh ilmu dari sumber utama dan pertama, agar mengujui juga kualitas-kualitas "profesor-profesor" tersebut yang pastinya penuh dengan segudang metode, teknik dan pendekatan untuk melatih mereka yang sering disebut "malas" dan enggan berkembang ini.
Tulisasn ini sebagai bentuk autokritik terhadap program-program "DAULAT BELAJAR" yang dicanangkan oleh mandikbud dengan membandingkan program-program yang ada dan diterapkan di Indonesia saat ini.
TO BE CONTINUE... !
Sarana dan kritik serta masukan mengenai tulisan ini bisa disampaikan melalui kolom komentar postingan ini
Fathur Rachim (MANDIKBUD)
Ketua Umum HIPPER Indonesia
Dicuplik dari https://www.hipper.or.id/2021/02/akankah-sekolah-penggerak-menyusul-rsbi.html
Tim Publikasi HIPPER Indonesia