Anda Yang Menilai : Abuse of Power Dalam Kebijakan Pendidikan Nasional?
Akhir-akhir ini, semakin sering kita disuguhkan praktik-praktik dalam kebijakan pendidikan nasional yang berpotensi masuk dalam kategori Abuse of Power dan/atau Maladministrasi baik langsung maupun tidak langsung, disadari atau tidak disadari.
Abuse of Power adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seorang pejabat publik atau penguasa (pemerintah) dengan agenda kepentingan tertentu, baik untuk kepentingan individu maupun kepentingan kelompok atau korporasi.
Sedangkan Maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum dan etika dalam proses administrasi pelayanan publik. Maladministrasi ada berbagai macam seperti penyimpangan prosedur, penyalahgunaan wewenang, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum, tindakan diskriminatif, permintaan imbalan, dan lainnya.
Baik Abuse of power ataupun Maladministrasi keduanya memiliki karaktristik yang sama, yakni terkait dengan tindakan penyalahgunaan wewenang, dimana jika penyalahgunaan wewenang tersebut jika bertentangan dengan prosedur/aturan dan norma yang ada maka dikatakan maladministrasi, sedangkan jika dilakukan untuk kepentingan tertentu, baik untuk kepentingan diri sendiri, orang lain atau korporasi dan berpotensi merugikan keuangan atau perekonomian negara, maka tindakan tersebut dapat dianggap sebagai tindakan korupsi.
Sebagai contoh kasus; Saat ini, Kementerian Keuangan melalui LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan), tengah mengelola "dana abadi" pendidikan yang nilainya sudah mencapai 139 Triliun. Jika kita melihat fungsi-fungsi kementerian/lembaga, tentunya Dana Pendidikan yang berasal dari APBN tersebut, semestinya berada dibawah otoritas dan pengelolaan Kementerian Pendidikan. Faktanya yang terjadi, LPDP ini adalah satuan kerja yang berada dibawah Kementerian Keuangan.
Seolah-olah, ada ketidak percayaan dari Kementerian Keuangan sebagai "bendahara negara" untuk memberikan uang belanja bagi kementerian pendidikan yang seharusnya mengelola dana tersebut sesuai dengan fungsi kementerian pendidikan. Pertanyaanya, Apakah ini bentuk "abuse of power" atau bentuk "maladministrasi" yang dilakukan tanpa disadari atau ini boleh saja?
Contoh lainnya; Akhir-akhir ini para guru kembali disibukkan dengan kebijakan baru "Penilaian Kinerja melalui PMM". Menurut rilis resmi Kementerian Pendidikan, bahwa E-Kinerja yang selama ini dikelola oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN) di "take over" oleh Kementerian Pendidikan dengan pembenaran bahwa "Kinerja melalui PMM" terintegrasi dengan E-Kinerja BKN, sehingga tidak perlu lagi mengisi E-Kinerja BKN.
Terlepas dari kesiapan infrastruktur pendidikan dan sosialisasi kebijakan yang sangat minim bahkan cenderung "prematur", terlebih kebijakan ini berlaku untuk seluruh guru baik ASN maupun Non-ASN maka tentu akan berpotensi timbul masalah dilapangan.
Perlu kita ingat kembali bahwa Pendidikan adalah salah satu urusan pemerintah pusat yang "konkuren". Artinya pendidikan adalah urusan yang kewenangannya dibagi antara pemerintah pusat dan daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota) dalam terminologi Otonomi Daerah (UU Pemerintahan Daerah) dimana urusan terkait Perguruan Tinggi (PT) diurus oleh Pemerintah Pusat, urusan SMA/SMK/SLB diurus oleh Pemerintah Provinsi dan PAUD/SD/SMP diurus oleh Pemerintah Kota/Kabupaten.
Saat ini tampak Pemerintah Pusat (Kemdikbud) ikut mengurusi hal-hal teknis yang seharusnya diurusi oleh pemerintah daerah, seolah-olah ingin membuktikan bahwa daerah tidak becus dalam mengurus pendidikan sesuai kewenangannya. Pemerintah Pusat seharusnya menyerahkan penuh urusan pendidikan selain Perguruan Tinggi ke pemerintah daerah, termasuk penganggarannya. Apakah praktik ini Abuse of Power dan/atau Maladminsitrasi atau tidak? Silahkan anda yang menjawabnya sendiri.
Banyak isu-isu pendidikan lainnya yang bersinggungan dengan kewenangan daerah yang tampak/berpotensi dikebiri oleh pemerintah pusat, misal kebijakan pengangkatan tenaga honorer Guru menjadi PPPK/PNS dan kebijakan-kebijakan yang bersifat teknis lainnya.
Semua "agenda nasional" (baca:kebijakan nasional) berujung pada redistribusi APBN, dimana APBN itu berasal dari seluruh daerah di Indonesia, baik daerah miskin akan sumber daya, maupun daerah yang kaya akan sumber daya. Maka sudah sepatutnya, sesuai dengan amanah konstitusi kita bahwa ".... sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat!", artinya sudah selayaknya porsi APBN itu lebih besar untuk daerah, dimana saat ini porsinya masih lebih besar pusat yakni sekitar 70% (pusat) dan 30% (daerah).
@fathur_kaltim
Maladministrasi pendidikan sudah d lakukan sejak zaman dahulu. Sampai sekarang tidak ada penyelesaian yang tepat mengenai ini.
BalasHapusBener banget, bahkan lebih jauh dari itu adalah kecendrungan mengabaikan amanah konstitusi sebagai dasar bernegara kita
Hapus