Masih Perlukah Sekolah Unggulan?


Seperti yang kita ketahui bersama bahwa kementerian pendidikan PERNAH punya beberapa model sekolah seperti Sekolah Model, Sekolah Rujukan, Sekolah Double Track, dan yang terakhir adalah Sekolah Penggerak yang diberikan "perlakuan khusus" kepadanya baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah berupa insentif keuangan untuk mendukung program tersebut hingga pada pelatihan kepala sekolah serta guru-gurunya. Ini artinya secara tidak langsung merupakan bentuk lain dari "sekolah unggulan".
Isu terkait perlu tidaknya sekolah unggulan ini berawal saat permasalahan terkait Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI/SBI) yang sempat menjadi polemik dan berperkara di Mahkamah Konstitusi (MK) pada era tahun 2010-2013.

Sebagai informasi untuk mengingatkan kita bersama bahwa MK dalam sidang putusan pembatalan Pasal 50 ayat 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pada Selasa, 8 Januari 2013, dalam putusannya tersebut, MK menyatakan pasal yang mengatur RSBI/SBI yang berada di sekolah-sekolah pemerintah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Adapun bunyi Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas menyebutkan, “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional”.

Dalam pertimbangannya, RSBI dapat menimbulkan dualisme pendidikan, mahalnya biaya pendidikan, dan adanya diskriminasi pendidikan, pembedaan antara RSBI/SBI dengan non RSBI/SBI akan menimbulkan adanya kastanisasi pendidikan.

Pertimbangan lainnya, yakni penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam tiap mata pelajaran dalam sekolah RSBI/SBI dinilai dapat mengikis jati diri bangsa, melunturkan kebanggaan generasi muda terhadap penggunaan dan pelestarian bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa.

Senada dengan itu, masyarakat penggugat menilai RSBI/SBI rentan terhadap penyelewengan dana, menimbulkan diskriminasi dan kastanisasi pendidikan, serta mahalnya biaya pendidikan seperti halnya pertimbangan MK.

Lalu Masih Perlukah Sekolah Unggulan?

Tentunya untuk menjawab itu, maka kita harus membuka lebih jauh dan lebih dalam peraturan perundangan yang ada pasca dihapuskannya Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas Tahun 2003. Benarkah sudah tidak ada lagi sekolah unggulan?

Terlepas dari keberadaan Sekolah Penggerak yang saat ini cenderung mendapatkan "karpet merah" oleh pemerintah pusat dan daerah, ternyata masih ada beberapa pasal didalam UU Sisdiknas yang dapat memayungi, bahkan mewajibkan pemerintah daerah untuk menyelenggarakan sekolah-sekolah sejenis yang tidak berorientasi pada komersialisasi pendidikan, namun berorientasi pada kebutuhan/layanan peserta didik.

Berikut beberapa pasal yang masih ada didalam UU Sisdiknas yang perlu kita cermati dan fahami bersama untuk dapat menjawab perlu tidaknya sekolah unggulan dan peran pemerintah daerah.

Pasal 5

(1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.

(2) Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.

(3) Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.

(4) Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.

Dalam Pasal 5 ayat 1, UU Sidiknas tersebut merupakan bentuk "amanah" kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah terkait "pemerataan pendidikan", pemerataan baik dalam hal akses pendidikan maupun sarana dan prasarana pendukungnya. Pada titik ini maka sangat jelas bahwa pada dasarnya semua sekolah itu haruslah memiliki mutu yang sama agar setiap peserta didik sebagai warga negara memperoleh pendidikan yang bermutu. Untuk itu diperlukanlah standar pendidikan sebagai upaya untuk dapat menstandarisasi pendidikan (sekolah/madrasah atau perguruan tinggi). Saat ini pemerintah pusat dan daerah selama puluhan tahun sejak Indonesia merdeka masih berkutak dimasalah ini. Salah satu penyebabnya karena belum adanya cetak biru pendidikan yang jelas baik di pusat maupun di daerah.

Selanjutnya pada Pasal 5 ayat 2, UU Sisdiknas tersebut mengamanhkan agar perlu adanya sekolah-sekolah khusus untuk anak-anak yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial, sehingga dibentuklah sekolah-sekolah untuk melayani siswa-siswa tersebut diseluruh daerah, terutama dilevel provinsi, yakni Sekolah Luar Biasa (SLB) atau sejenisnya mulai level SDLB hingga SMA/SMKLB. Terkait pasal ini, yang perlu menjadi perhatian pemerintah daerah adalah termasuk untuk siswa-siswa kurang mampu secara sosial masyarakat, tidak hanya dalam bentuk pemberitan beasiswa, namun perlu ada sekolah khususnya juga.

Sementara itu pada Pasal 5 ayat 3 UU Sisdiknas, semakin mempertegas terkait perlunya ada layanan khusus sebagai bentuk layanan minimal (jika belum bisa berbentuk pendidikan khusus) untuk peserta didik yang berada di daerah terpencil, terbelakang, terdalam dan perbatasan serta masyarakat adat.

Dan yang terakhir pada Pasal 5 ayat 4 UU Sisdiknas juga diamanahkan perlu adanya satuan pendidikan khusus (sekolah khusus) untuk melayani peserta didik yang memiliki POTENSI kecerdasan dan bakat istimewa. Artinya pemerintah daerah perlu juga membangun sekolah-sekolah untuk melayani siswa yang memiliki potensi "bakat istiwewa" baik bakat olah raga, bakat seni (tari,musik, atau kriya dsb), bakat keagamaan dan bakat-bakat lainnya. Selain itu juga ada frasa "cerdas istimewa" untuk melayani peserta didik dengan kemampuan kecerdasan istimewa (cerdas emosional, cerdas intelektual, atau cerdas sosial, dsb) .

Pasal 5 ayat 2,3, dan 4 ini masih belum banyak di penuhi oleh pemerintah pusat dan daerah, karena mereka masih fokus pada Pasal 5 ayat 1 karena "merasa" fungsi pemerintah itu hanya pemerataan akses pendidikan. Meskipun demikian di beberapa daerah sudah banyak sekolah-sekolah khusus dan layanan khusus yang didirikan sesuai amanah UU Sisdiknas tersebut. Ada yang fokus hanya mendidik siswa miskin saja, ada yang fokus mendidik siswa berbakat saja dan ada yang hanya siswa cerdas (bukan pintar) saja, namun ada pula yang gabungan dengan memberikan layanan khusus kepada semuanya.

Sekolah-sekolah khusus seperti tersebut diatas biasanya diberikan fasilitas asrama untuk memudahkan pembinaan kepada peserta didik tersebut. Sekolah berasrama bukan merupakan "jenis sekolah", melainkan layanan yang diberikan kepada peserta didik. Fungsi layanan asrama lainnya adalah untuk memfasilitasi siswa yang jauh dari akses pendidikan atau berjarak jauh dari rumah/tempat tinggalnya. 

Kesimpulannya, sekolah unggulan itu masih sangat diperlukan karena merupakan amanh UU yang harus dijalankan secara paralel bersama pemenuhan standarisasi mutu sekolah-sekolah reguler lainnya yang ada, atau dengan kata lain pemerintah pusat dan daerah wajib memfasilitasi semuanya, tanpa harus "mendowngrade" sekolah-sekolah bagus (bermutu baik) yang sudah ada.

Semua sekolah harus bermutu baik atau dengan kata lain harus unggul. Sekolah-sekolah yang saat ini sudah unggul patut didorong dan didukung untuk menjadi lebih baik lagi. Tujuan utamanya adalah untuk menjadi "bancmark" alat ukur agar sekolah-sekolah sekitar terpacu dan terpicu serta sisi positif dari adanya sekolah yang "dicemburui" maka sekolah-sekolah lain bisa termotivasi untuk bisa setara dan menjadi yang terbaik juga bahkan mengunguli sekolah tersebut. 

Sebagai Informasi Tambahan!

PP 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, pada :

Pasal 21 ayat 2 : Gubernur menetapkan kebijakan untuk menjamin peserta didik memperoleh akses pelayanan pendidikan bagi peserta didik yang orang tua/walinya tidak mampu membiayai pendidikan, peserta didik pendidikan khusus, dan/atau peserta didik di daerah khusus. 

Pasal 127 ; Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa

Pasal 130 ayat 2 ; Penyelenggaraan pendidikan khusus dapat dilakukan melalui satuan pendidikan khusus, satuan pendidikan umum, satuan pendidikan kejuruan, dan/atau satuan pendidikan keagamaan.  

Pemerintah provinsi menyelenggarakan paling sedikit 1 (satu) satuan pendidikan khusus untuk setiap jenis kelainan dan jenjang pendidikan sebagai model sesuai dengan kebutuhan peserta didik.

Penulis,

Fathur Rachim
Ketua Umum DPP HIPPER Indonesia
https://www.hipper.or.id
https://www.fathur.web.id


Related

trend 8333345428436531520

Posting Komentar

emo-but-icon

Follow us !

Trending

Terbaru

Komentar

item